Kesenian Campak, Ajang Adu Keahlian Berpantun Khas Budaya Belitong

by -2108 Views
Foto ; indonesia kaya

Asal Usul Kesenian Campak

Seni campak merupakan salah satu kesenian tradisional yang masih bertahan di Belitung. Dulunya, kesenian ini sempat dianggap memiliki konotasi negatif, tetapi kini menjadi bagian yang penting dalam budaya lokal.

Ada berbagai teori mengenai asal-usul campak. Salah satunya adalah cerita nenek-nenek terdampar dari Vietnam yang menghibur diri dengan menari, yang kemudian berkembang menjadi kesenian campak. Ada pula yang meyakini bahwa campak berasal dari kata ‘mencampakkan uang’ atau karena moral yang tercampakkan.

Beberapa sumber bahkan bercerita bahwa campak berasal dari Pulau Seliu, selatan Pulau Belitung; tempat nenek-nenek dari Vietnam menari setelah kapal mereka terdampar. Orang-orang itu konon asalnya dari Champa, Vietnam.

Namun, belum ada bukti pasti mengenai asal-usul campak ini. Meski begitu, campak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari adat Melayu Belitung. Sebuah diskusi dalam acara Kelakar Seniman dan Budayawan Belitung di Gedung Nasional, Tanjungpandan, beberapa waktu lalu mengungkap sejumlah informasi menarik mengenai asal-usul seni campak serta transformasinya menjadi campak dangdut.

Kesenian campak biasanya diiringi oleh tiga alat musik, yaitu gendang panjang, tawang-tawang, dan piul atau biola. Namun, campak yang disaksikan masyarakat saat ini telah mengalami modernisasi dan dikenal sebagai campak dangdut.

Sejarawan Belitung, Salim Yah, menjelaskan bahwa perubahan ini dilakukan untuk menarik perhatian penonton. Kombinasi antara campak dan bernyanyi dangdut dilakukan agar pertunjukan lebih diminati.

Di masa lalu, campak seringkali dianggap kontroversial karena pakaian yang dikenakan penari tidak sesuai dengan norma pada masa itu, sehingga menyebabkan stigma negatif terutama pada tahun 1960-an. Pertunjukan campak biasanya dilakukan di tanah lapang dengan tikar sebagai alas bagi penari.

Alunan musik menemani penampilan mereka yang sering kali menjadi sorotan bagi penonton, terutama dengan lantunan pantun yang kadang mengandung unsur merayu dan ‘nakal’. Bahkan, cara tradisional ‘nyawer’ campak dengan memberikan saweran uang membuatnya semakin dianggap kontroversial. | DjossNews.Com | IndonesiaKaya | *** |